Kamis, 01 Mei 2014

Makalah Ulumul Qur'an (Munasabah Dalam Al-Qur'an); Risya Wardani



MUNASABAH DALAM AL-QUR’AN
  
A.    Pengertian
Adapun pengistilahan yang digunakan dalam hal ini adalah munasabah, yang secara bahasa diartikan sebagai kecocokan, kepatutan, kesesuaian, dan kedekatan. 
Secara istilah, terdapat beberapa macam pendapat dari para ulama, antara lain:
Manna’ Khalil al-Qattan: bahwa segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu surat dengan surat yang lain.
Hasbi al-Shiddiqie: bahwa munasabah hanya terbatas pada hubungan antar ayat.
Dan al-Baghawi: menyamakan munasabah dengan ta’wil. Serta Badruddin al-Zarkasyi dan al-Suyuthiy mengemukakan bahwa, munasabah mencakup hubungan antar ayat dan antar surat.[1]
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa munasabah merupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui alasan penertiban bagian dari Al-Qur’an, dan ada yang mengatakan munasabah adalah usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar surat dan ayat yang dapat diterima akal.
 Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan antara ayat atau surat Al-Qur’an baik sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan antara ‘am dan khas, abstrak dan konkrit, sebab akibat, rasional dan irrasional, dan bahkan antara dua hal yang saling kontradiktif.[2]
M. Quraish Shihab, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan keserasian dalam Al-Qur’an dapat terlihat antara lain : Hubungan kata demi kata dalam satu ayat, hubungan antara kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat), hubungan ayat dengan ayat berikutnya, hubungan mukaddimah satu surah dengan penutupnya, hubungan penutup satu surah dengan mukaddimah surah berikutnya, dan hubungan kandungan surah dengan surah berikutnya.[3]
Dalam memberikan tanggapan terhadap cabang ilmu Ulumul Qur’an, yakni ilmu munasabah, telah menuai beberapa pemikiran para ulama yang diantaranya mendukung dan diantaranya memberikan tantangan.
Di antara yang memberi dukungan adalah Fakhrudin al-Razi, yang memberikan perhatian terhadap munasabah baik antar ayat maupun antar surat. Bukti perhatiannya seperti dikutip oleh al-Suyuthiy “Ia dalam tafsirnya banyak sekali bagian-gabian halus dari Al-Qur’an yang tersimpan dalam susunan ayat dan hubungan-hubungannya”. Sedangkan Nizhamuddin an-Nisaburi, dan Abu Hayyan al-Andalusiy, yang memberikan perhatian pada munasabah antar ayat saja.
Walaupun di antar mereka tidak menggunakan istilah yang sama, seperti Sayyid Qutb yang menggunakan istilahirtibath, Rasyid Ridha dengan istilah ittishal dan ta’lil, al-Alusiy beristilah dangan tartib, dan ar-Razi menggunakan istilah ta’alluq.[4]
Adapun ulama yang memberikan tentangan terhadap ilmu munasabah, seperti Ma’ruf Dualibi, mengatakan bahwa “Maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an. Sebagaimana halnya andaikata urusan itu mengenai satu hal saja, tentang ‘aqaid, budi pekerti, ataupun mengenai hak-hak dan kewajiban.
 Sebenarnya yang dicari hanyalah hubungan atas dasar satu atau beberapa prinsip saja”. Hal ini diperjelas oleh al-Syatibi dalam kitab al-muwafaqat, menyatakan bahwa Al-Qur’an dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabda’) dan norma umum (kaidah) saja.
 Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras memaksakan diri mencari korelasi antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil.[5]
Mufassir lain yang kurang menyetujui dengan adanya munasabah adalah Mahmud Syaltuth, seorang ulama modern yang memiliki berbagai karya besar termasuk tafsir.[6]
Terlepas dari segala macam pro dan kontra tersebut, yang jelas usaha untuk mencari dan menggali lebih dalam tentang apapun yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah merupakan upaya besar, dengan maksud kaum muslimin memberikan perhatian penuh terhadap kitab sucinya, sehingga dapat mengambil petunjuk darinya.
     B. Macam-Macam Munasabah
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
Pertamazhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.[7]
keduakhafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[8] 
Hal tersebut tampak dalam 2 model,[9] yakni, hubungan yang ditandai dengan huruf‘athaf, sebagai contoh:

Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ    
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan?, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”(Al-Ghasyiyah:17-20)

Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bum yang luas. Sedangkan yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada tiga jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan lain.
Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi dua:
Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas.
Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis.
Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah:
a.       Hubungan antara nama-nama surat
Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-Furqan.
Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil. Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya
Misalnya permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-Waqi’ah memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.
b.      Hubungan antar awal surat dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qashash dimulai dengan kisah nabi Musa dan Fir’aun serta kroni-kroninya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengetahui tentang hidayah.[10]

c.       Hubungan antara dua surat dalam soal materi dan isinya
Misalnya antara surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Yang mana dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman.
Sedangkan dalam surat al-Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-Fatihah.
Dalam bukunya Mukjizat al-Qur’an, M. Quraish Shihab memberikan satu sistematika surat al-Baqarah dengan susunan uraian sebagai berikut :
a)      Pendahuluan, yang berbicara tentang al-Qur’an.
b)      Uraian yang mengandung empat tujuan pokok, yaitu :
c)      Ajakan kepada seluruh manusia untuk memeluk ajaran Islam.
d)     Ajakan kepada ahli kitab agar meninggalkan kebatilan mereka dan mengikuti ajaran Islam.
e)      Penjelasan tentang ajaran-ajaran al-Qur’an.
f)       Penjelasan tentang dorongan dan motivasi yang dapat mendukung pemeluknya melaksanakan ajaran Islam.
g)      Penutup, yang menjelaskan siapa yang mengikuti ajaran ini serta penjelasan tentang apa yang diharapkan oleh mereka untuk dapat mereka peroleh dalam hidup di dunia dan akhirat.[11]

C.    Urgensi Memamahi Munasabah Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an, munasabah juga membantu dalam interpretasi dan ta’wil ayat dengan baik dan cermat. Di antara para mufassir, menafsirkan ayat atau surat dengan menampilkan asbabun nuzul ayat atau surat.
Tetapi sebagian dari mereka bertanya-tanya, manakah yang harus di dahulukan? Aspek asbabun nuzul-nya ataukah munasabah-nya. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaiannya yang serasi.[12]
Dengan demikian ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku.
Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. [13]
Pertama, dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah suatu susunan yang paling baligh (tinggi nilai sastranya) dalam hal keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. 
Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Dalam hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhpan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya.
 Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya.[14]
Jadi, memahami munasabah dalam Al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim.

D.    Nilai Pendidikan Dalam Munasabah Al-Qur’an
Apapun dari setiap ilmu, pastilah memberikan sumbangan besar terhadap pendidikan. Baik dalam konsep dan teori, maupun dalam hal praktis. Demikan pula dengan hadirnyailmu munasabah yang mempelajari korelasi antar ayat maupun surat dalam al-Qur’an, tentunya terdapat hikmah yang baik dalam meningkatkan pendidikan.
Bertolak dari sisi konsepnya, ilmu munasabah dijadikan sebagai cara kritis dalam menelaah keterkaitan antar ayat maupu surat dalam al-Qur’an.






[1] Usman. Ulumul Qur’an,(Yogyakarta : Teras, 2009), h. 162.
[2] .Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm.161.
[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, hlm. 244.
[4]  Ibid, hlm.163.
[5] . Usman, hlm. 169.
[6] . Ibid, hlm. 170.
[7] Supiana dan M, Karman,h. 164..
[8] Ibid, h.164.
[9] Muhammad Chirzin, h. 52.
[10] Muhammad Chirzin, h. 54.
[11] M. Quraish Shihab,h. 253.
[12] Usman, h.171.
[13] Ibid h.172.
[14] Ibid, 173-174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar