Rabu, 28 Mei 2014

SYURUUTUL MUFASSIR


BAB 13
SYURUUTUL MUFASSIR

A.    Pengertian mufassir.                                                                                    
Kata mufassir erat hubungannya dengan kata tafsir. Tafsir sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[1]
Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.[2]
Ilmu tafsir dan mufassir telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw dan berkembang hingga zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu:
1.      Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya.

2.      Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah: Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang masuk Islam dan telah bagus ke-Islamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’ atau paling kurang adalah Mauquf.

3.      Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.

4.      Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam 3 periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. 
Periode KeduaPemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode KetigaMembukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat.

Syarat – Syarat Mufassir
Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
2. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3. Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya:

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(An-Nahl-44)s

5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabta karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an, mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an diturunkan.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini memeriksa pendapat tabi’in.[3]
7. Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
8. Menguasai pokok-pokok ilmu nyang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu tauhid, ilmu usul, dan lain-lain.
9. Seorang mufassir haruslah orang yang cerdas dan sehat akalnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghasilkan suatu hukum.[4]
B.     Ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir.
Seorang mufassir diharuskan menguasai berbagai macam ilmu dan pengetahuan, sehingga ia menjadi seorang mufassir yang benar-benar dikatakan ahli, jika tidak, maka ia termasuk dalam ancaman Allah sebagai mana yang telah disabdakan oleh Rasullah SAW yang berbunyi:
منكذب على متعمدا فليتبو امقعده من الناس، ومن قال في القران برايه فليتبو أ مقعده من النار

“Barang siapa berdusta kepada saya dengan disengaja, maka ia kan dimasukkan ke dalam api neraka. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihatnya sendiri maka ia akan dimasukkan ke dalam api neraka”( Hadis riwayat Turmizi dari Ibnu Abbas)[5].

Di antara Ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir yaitu:
Manna’ Khalil al-Qattan  dalam bukunya, menyebutkan lima belas ilmu yang mesti dikuasai seorang mufassir yang nantinya akan menuntunnya dalam penafsiran:
1.      Ilmu Bahasa  karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.      Ilmu Nahwu. Dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.      Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui struktur dan bentuk suatu kata.  
4.      Ilmu tentang Isytiqâq( karena suatu nama apabila isytiqâq-nya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
5.      Al-Ma‘âni yang dengannya dapat diketahui ciri-ciri khas susunan  suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.      Al-Bayân untuk mengetahui ciri-cirinya dari sisi perbedaan-perbedaannya ditinjau dari sisi kekuatan dan kesamaran petunjuknya.
7.      Al-Badî‘ untuk memperindah suatu pembicaraan. (Ketiga ilmu di atas, nomor lima, enam, dan tujuh, disebut ilmu Balaghah)
8.      Ilmu qirâ’ah dengan ilmu ini dapat diketahui cara membaca Al-Quran dan makna yang paling kuat yang mungkin dikandung oleh suatu ayat.
9.      Ilmu tentang Ushûluddîn.
10.  Ushul Fiqih karena dengannya dapat diketahui metode pengambilan dalil dan ijtihad terhadap suatu hukum.
11.  Ilmu tentang Asbâbun Nuzûl dan kisah-kisah, agar diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.  Ilmu tentang An-Nâsikh wa al-Mansûkh, untuk mengetahui ayat yang muhkam (yang tidak dinasakh) dan yang lainnya.  
13.  IlmuFiqih.
14.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.  Ilmu mauhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui.[6]

C.    Adab Seorang Mufassir
Dalam kamus al-Munawir, adab  mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[7] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[8] Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan adab mufassir diartikan dengan tingkah laku seseorang yang hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufassir boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para ulama.
Adab merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek kepribadian. Yang dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam menjelaskan suatu hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui. Menurut mana’ al-Qatthan diantara adab mufassir adalah sebagai berikut:
1.      Berniat baik dan bertujuan benar.
Seorang mufassir harus memiliki niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung pada niat, maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga di arahkan supaya mufassir menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madarat bagi dirinya sendiri.
2.      Berakhlak baik
Diumpamakan seorang mufassir adalah seorang pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu sebagai seorang yang dianut, maka orang tersebut harus mempunyai perangauiyang baik dan sopan, agar para penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang telah diajarkan oleh guru mereka.  Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kuwaliti individu dan masyarakat.  lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau balau.
3.      Taat dan beramal
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya.



4.      Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan.
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang ditetapkannya.
5.      Tawadlu’ dan lemah lembut.
Karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.       Berjiwa mulia.
Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari halhal yang remeh serta tidak mendekati dan memintaminta kepada penguasa.
7.      Vokal dalam menyampaikan kebenaran
Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
8.      Berpenampilan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
9.      Tenang dan mantap
Mufassir hendaknya tidak tergesagesa dalam bicara, tapi henndaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama dari pada dirinya.
Seorang mufassir harus hatihati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya.
11.  Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.           
Sementara itu Imam suyuti mengatakan ,”Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak dapat memahami wahyu Allah dan tidak akan terlihat rahasia olehnya rahasia-rahasianya  sementara didalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan dan hawa nafsu, cinta dunia, gemar melakukan dosa, lemah iman, bersandar pada mufassrir yang tidak memiliki ilmu atau merujuk pada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian yang lain”.  Inilah makna firman Allah ta’ala:

ß$ÎŽñÀr'y ô`tã zÓÉL»tƒ#uä tûïÏ%©!$# šcr㍬6s3tGtƒ Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ysø9$# bÎ)ur (#÷rttƒ ¨@à2 7ptƒ#uä žw (#qãZÏB÷sム$pkÍ5 bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y Ïô©9$# Ÿw çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y ÄcÓxöø9$# çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr'Î/ (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ (#qçR%x.ur $pk÷]tã tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÍÏÈ  

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”.(QS. Al-A’raf: 146)

Maksud ayat diatas adalah pemahaman mereka mengenai akal yaitu penafsiran akan diambil oleh allah karena sifat sombong mereka yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Berdasarkan keterangan Imam Suyuti diatas, Ahmad Bazawy Adh-Dawhi  meringkas sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir[9], yaitu
1.      Akidah yang lurus
2.      Terbebas dari hawa nafsu
3.      Niat yang baik
4.      Akhlak yang baik
5.      Tawadhu’ dan lemah lembut
6.      Zuhud terhadap dunia
7.      Taubat dan taat terhadap perkara yang syari’
8.      Tidak bersandar pada ahli bid’ah dan kesehatan dalam menafsirkan
9.      Tidak tunduk pada akalnya sehingga menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman.

D.    Mufassir-Mufassir Indonesia
Untuk memudahkan umat Islam yang ada di indonesia dalam memahami isi dan kandungan Al-Qur’an, maka usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dengan bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para cendikia islam yang berbahasa indonesia, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan dan penafsiran Al-quran oleh mufassir Tanah Air tidak hanya ditransfer ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu.
Penulisan kitab terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur Rauf Singkily seorang ulama asal Singkil di Aceh menyusun sebuah kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang diberi judul Turjuman al-Mustafid.
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Melayu diteruskan pada periode selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin at-Ta’wil yang disusun Syekh Nawawi ini diterbitkan di Makkah pada permulaan tahun 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa kali dicetak ulang dan banyak beredar di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga memasuki abad ke-20 M, mulai bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan tafsir Alquran karya para ulama dalam negeri. Di antaranya, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Maknanya karya Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967. Tafsir ini hanya terdiri atas satu jilid, namun penafsirannya mencakup 30 juz.
Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir dalam bahasa daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda yang disusun oleh KH MHD Ramli. Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir dalam bahasa Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Suci.
Penulisan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia secara lebih lengkap dalam satu jilid baru dilakukan oleh H Oemar Bakry melalui kitab Tafsir Rahmat yang terbit pada tahun 1981. Penafsiran dalam kitab ini dilakukan berdasarkan urutan surah dan ayat dalam Al-Qur’an tanpa mengelompokkan ayat sesuai dengan masalah yang dikandungnya. Yang membedakan kitab Tafsir Rahmat dengan kitab-kitab tafsir karya ulama Indonesia sebelumnya adalah setiap surah yang akan ditafsirkan didahului oleh suatu pendahuluan yang berisi uraian tentang nama atau nama-nama lain surah tersebut, jumlah ayat, hubungan antar surah, dan pokok isi surah. Penafsiran surah diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan mengenai kandungannya.
Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim Indonesia juga mengenal Tafsir al-Azhar yang disusun oleh Hamka yang terbit pada tahun 1983. Kitab ini terdiri atas 15 jilid dan setiap jilid berisi penafsiran dua juz Al-Qur’an. Di setiap awal surah yang ditafsirkan, diuraikan lebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan surah dan pokok isinya. Selain itu, setiap ayat juga disertai dengan terjemahannya. Masalah pokok yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu diuraikan dan ditafsirkan secara panjang lebar.
Selain kitab tafsir yang disusun secara perorangan, Muslim di Tanah Air juga mengenal karya tafsir yang dibuat secara kelompok atau oleh lembaga. Di antaranya Al-quran dan Terjemahannya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an atas penunjukan oleh Departemen Agama RI. Al-quran dan Terjemahannya terbit pertama kali tahun 1971 dan sejak tahun 1990 terjemahannya telah mengalami revisi.
Dari panjangnya perjalanan usaha ulama indonesia dalam menyusun karya penafsiran Al-Qur’an maka tahapan itu di kelompokkan berdasarkan periode-periode tertentu, akan tetapi pada dasarnya periode awal abad 20 sampaitahun 1960 an cukup memberikan kontribusi yag sangat berharga dan dapat dikatakan penafsiran setelahnya merujuk pada tafsir-tafsir yang mereka buat.
Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks Al-Qur’an yang menjadi objek tafsir, literature tafsir pada periode pertama ini cukup beragam. Pertama, ada literature tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentu sebagai objek penafsiran, misalnya Tafsir Al-Qur’anul Karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis; Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan. Kedua literature ini berkonsentrasi pada surat Yaasiin.
Masih dalam konteks objek tafsir surat tertentu, ada yang berkonsentrasi pada surat Al-Fatihah, yaitu: Tafsir Al-Qur’anul karim, surat Al-Fatihah (Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris, Rahasia Ummul Qur’an atau Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Institute Indonesia, 1956) karya A. Bahry, Kandungan Al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960) karya Bahroem Rangkuti, dan Tafsir Surat Al-Fatihah (Cirebon: Toko Mesir, 1969) karya H. Hasri.
Kedua, karya Tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu. Pada bagian ini yang muncul hanya juz 30 (Juz ‘Amma) yang menjadi objek tafsir. Contoh dari model ini adalah : Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang : Al-Munir, 1922) karya H. Abdul karim Amrullah, Al-Hidayah Tfsir Juz ‘Amma (Bandung: Al-Ma’arif, 1930) karya A. Hassan, Tafsir Djuz ‘Amma (Medan: Islamiyah, 1954) karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir Al-Qur’anul Karim : Djuz ‘Amma (Jakarta: Wijaya, 1955) karya Zuber Usman, Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1958) karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Juz ‘Amma (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960) karya Mustafa Baisa, dan Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1960) karya M. Said.
Ketiga, ada yang menafsirkan Al-Qur’an utuh 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus yang untuk kali pertama diselesaikan penulisannya pada tahun 1938. Lalu Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, 1956, edisi ke-9) atau dikenal dengan nama tafsir tiga serangkai karya H. A. Halim Hassan, H. Zainal Abbas, dan Abdurrahman Haitami, Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1959) karya H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qur’an Al-Furqan (Jakarta: Tintamas, 1962) karya Ahmad Hassan, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pembina Mas, 1967, cetakan 1) karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’an Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1932 karya Ahmad Surkati.
Penulisan Tafsir Al-Furqan karya A.Hasan berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi ke dalam empat edisi penerbitan sampai sekarang.edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi kedua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa’ad Nabhan hingga akhirnya Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian pada tahun 2006, Tafsir Al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama Universitas Al-Azhar Indonesia dalam satu jilid.
Pada masa Prof. H. Mahmud Yunus boleh dibilang ia adalah satu-satunya intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran al-Qur’an. Dia memulai kegiatannya dengan menggunakan tulisan pego, yakni bahasa melayu atau bahasa Indonesia yang berbentuk tulisan arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan al-qur’an, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan Maknanya.
Metode Tafsir Periode pertama, awal abad 20 M sampai tahun 1950-an, ada yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyah (tarjamah maknawi). Di antaranya seperti Tafsir al-Furqan, yang ditulis oleh A. Hassan. Penulisan kitab tafsir ini dimulai tahun 1928, dan selesai tahun 1956. Dan Tafsir al-Qur’an Karim (tiga serangkai) yang ditulis oleh H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami pada tahun 1937. Tafsir ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20 halaman, yang terbit tiap bulan.
Dan ada juga yang ditulis dengan menggunakan metode Maudhu’I (tematik). Diantaranya seperti Tafsir Al-Qur’anul karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis, dan Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan.
Adapun rujukan ulama-ulama tafsir Indonesia ini merujuk kepada ulama-ulama periode klasik seperti Ibnu Katsir dan As-Suyuti, juga kepada ulama-ulama periode pertengahan seperti Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, dan Ahmad Mushtafa Al-Maragy.
Dan berikutnya Tafsir al-Misbah Quraish Shihab 15 Volume/ jilid, yang merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia : Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia makna ayat-ayat Allah. Mari terangi jiwa dan keimanan kita dengan tafsir Al-Mishbah sekarang juga.
Demekianlah usaha yang telah diupayakan oleh ulama mufassir indonesia tentunya penafsiran-penafsiran mereka cendrung lebih mudah difahami oleh masyarakat yang membutuhkan penafsiran al-quran dalam mengambil isi kandungan al-quran, hal ini disebabkan tafsirnya berbahasa yang sama dengan masyrakat dan pemberian contoh-contoh dalam penafsirannya pun cendrung disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar di zaman itu.




[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an,(Jakarta:PT. Pustaka Litera AntarNusa,1996), h.456
[2] msiumsddii.file.wordpress.com, Studi Tentang Syarat-Syarat Mufassir, 2013
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an,(Jakarta:PT. Pustaka Litera AntarNusa,1996), h.462-464.
[4] Fahmi Amrullah, Ilmu Al-Qur’an untuk Pemula, (Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008), h.79-80
[5] Moh.Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Surabaya:Al Ikhlas), h.165.
[6]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (terj) Tim Editor Indiva (Surakarta:Indiva Pustaka , 2009), juz 2, hlm. 911-912.
[7]Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.13
[8]Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 9.
[9] Pasaronlineforall.blogspot.com, Syarat dan Adab Mufassir, (2010)


A.    Pengertian mufassir.                                                                                    
Kata mufassir erat hubungannya dengan kata tafsir. Tafsir sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[1]
Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.[2]
Ilmu tafsir dan mufassir telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw dan berkembang hingga zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu:
1.      Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya.

2.      Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah: Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang masuk Islam dan telah bagus ke-Islamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’ atau paling kurang adalah Mauquf.

3.      Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.

4.      Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam 3 periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. 
Periode KeduaPemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode KetigaMembukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat.

Syarat – Syarat Mufassir
Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
2. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3. Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya:

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(An-Nahl-44)s

5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabta karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an, mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an diturunkan.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini memeriksa pendapat tabi’in.[3]
7. Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
8. Menguasai pokok-pokok ilmu nyang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu tauhid, ilmu usul, dan lain-lain.
9. Seorang mufassir haruslah orang yang cerdas dan sehat akalnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghasilkan suatu hukum.[4]
B.     Ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir.
Seorang mufassir diharuskan menguasai berbagai macam ilmu dan pengetahuan, sehingga ia menjadi seorang mufassir yang benar-benar dikatakan ahli, jika tidak, maka ia termasuk dalam ancaman Allah sebagai mana yang telah disabdakan oleh Rasullah SAW yang berbunyi:
منكذب على متعمدا فليتبو امقعده من الناس، ومن قال في القران برايه فليتبو أ مقعده من النار

“Barang siapa berdusta kepada saya dengan disengaja, maka ia kan dimasukkan ke dalam api neraka. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihatnya sendiri maka ia akan dimasukkan ke dalam api neraka”( Hadis riwayat Turmizi dari Ibnu Abbas)[5].

Di antara Ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir yaitu:
Manna’ Khalil al-Qattan  dalam bukunya, menyebutkan lima belas ilmu yang mesti dikuasai seorang mufassir yang nantinya akan menuntunnya dalam penafsiran:
1.      Ilmu Bahasa  karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.      Ilmu Nahwu. Dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.      Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui struktur dan bentuk suatu kata.  
4.      Ilmu tentang Isytiqâq( karena suatu nama apabila isytiqâq-nya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
5.      Al-Ma‘âni yang dengannya dapat diketahui ciri-ciri khas susunan  suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.      Al-Bayân untuk mengetahui ciri-cirinya dari sisi perbedaan-perbedaannya ditinjau dari sisi kekuatan dan kesamaran petunjuknya.
7.      Al-Badî‘ untuk memperindah suatu pembicaraan. (Ketiga ilmu di atas, nomor lima, enam, dan tujuh, disebut ilmu Balaghah)
8.      Ilmu qirâ’ah dengan ilmu ini dapat diketahui cara membaca Al-Quran dan makna yang paling kuat yang mungkin dikandung oleh suatu ayat.
9.      Ilmu tentang Ushûluddîn.
10.  Ushul Fiqih karena dengannya dapat diketahui metode pengambilan dalil dan ijtihad terhadap suatu hukum.
11.  Ilmu tentang Asbâbun Nuzûl dan kisah-kisah, agar diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.  Ilmu tentang An-Nâsikh wa al-Mansûkh, untuk mengetahui ayat yang muhkam (yang tidak dinasakh) dan yang lainnya.  
13.  IlmuFiqih.
14.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.  Ilmu mauhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui.[6]

C.    Adab Seorang Mufassir
Dalam kamus al-Munawir, adab  mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[7] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[8] Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan adab mufassir diartikan dengan tingkah laku seseorang yang hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufassir boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para ulama.
Adab merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek kepribadian. Yang dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam menjelaskan suatu hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui. Menurut mana’ al-Qatthan diantara adab mufassir adalah sebagai berikut:
1.      Berniat baik dan bertujuan benar.
Seorang mufassir harus memiliki niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung pada niat, maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga di arahkan supaya mufassir menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madarat bagi dirinya sendiri.
2.      Berakhlak baik
Diumpamakan seorang mufassir adalah seorang pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu sebagai seorang yang dianut, maka orang tersebut harus mempunyai perangauiyang baik dan sopan, agar para penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang telah diajarkan oleh guru mereka.  Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kuwaliti individu dan masyarakat.  lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau balau.
3.      Taat dan beramal
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya.



4.      Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan.
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang ditetapkannya.
5.      Tawadlu’ dan lemah lembut.
Karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.       Berjiwa mulia.
Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari halhal yang remeh serta tidak mendekati dan memintaminta kepada penguasa.
7.      Vokal dalam menyampaikan kebenaran
Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
8.      Berpenampilan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
9.      Tenang dan mantap
Mufassir hendaknya tidak tergesagesa dalam bicara, tapi henndaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama dari pada dirinya.
Seorang mufassir harus hatihati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya.
11.  Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.           
Sementara itu Imam suyuti mengatakan ,”Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak dapat memahami wahyu Allah dan tidak akan terlihat rahasia olehnya rahasia-rahasianya  sementara didalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan dan hawa nafsu, cinta dunia, gemar melakukan dosa, lemah iman, bersandar pada mufassrir yang tidak memiliki ilmu atau merujuk pada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian yang lain”.  Inilah makna firman Allah ta’ala:

ß$ÎŽñÀr'y ô`tã zÓÉL»tƒ#uä tûïÏ%©!$# šcr㍬6s3tGtƒ Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ysø9$# bÎ)ur (#÷rttƒ ¨@à2 7ptƒ#uä žw (#qãZÏB÷sム$pkÍ5 bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y Ïô©9$# Ÿw çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y ÄcÓxöø9$# çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr'Î/ (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ (#qçR%x.ur $pk÷]tã tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÍÏÈ  

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”.(QS. Al-A’raf: 146)

Maksud ayat diatas adalah pemahaman mereka mengenai akal yaitu penafsiran akan diambil oleh allah karena sifat sombong mereka yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Berdasarkan keterangan Imam Suyuti diatas, Ahmad Bazawy Adh-Dawhi  meringkas sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir[9], yaitu
1.      Akidah yang lurus
2.      Terbebas dari hawa nafsu
3.      Niat yang baik
4.      Akhlak yang baik
5.      Tawadhu’ dan lemah lembut
6.      Zuhud terhadap dunia
7.      Taubat dan taat terhadap perkara yang syari’
8.      Tidak bersandar pada ahli bid’ah dan kesehatan dalam menafsirkan
9.      Tidak tunduk pada akalnya sehingga menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman.

D.    Mufassir-Mufassir Indonesia
Untuk memudahkan umat Islam yang ada di indonesia dalam memahami isi dan kandungan Al-Qur’an, maka usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dengan bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para cendikia islam yang berbahasa indonesia, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan dan penafsiran Al-quran oleh mufassir Tanah Air tidak hanya ditransfer ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu.
Penulisan kitab terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur Rauf Singkily seorang ulama asal Singkil di Aceh menyusun sebuah kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang diberi judul Turjuman al-Mustafid.
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Melayu diteruskan pada periode selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin at-Ta’wil yang disusun Syekh Nawawi ini diterbitkan di Makkah pada permulaan tahun 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa kali dicetak ulang dan banyak beredar di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga memasuki abad ke-20 M, mulai bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan tafsir Alquran karya para ulama dalam negeri. Di antaranya, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Maknanya karya Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967. Tafsir ini hanya terdiri atas satu jilid, namun penafsirannya mencakup 30 juz.
Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir dalam bahasa daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda yang disusun oleh KH MHD Ramli. Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir dalam bahasa Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Suci.
Penulisan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia secara lebih lengkap dalam satu jilid baru dilakukan oleh H Oemar Bakry melalui kitab Tafsir Rahmat yang terbit pada tahun 1981. Penafsiran dalam kitab ini dilakukan berdasarkan urutan surah dan ayat dalam Al-Qur’an tanpa mengelompokkan ayat sesuai dengan masalah yang dikandungnya. Yang membedakan kitab Tafsir Rahmat dengan kitab-kitab tafsir karya ulama Indonesia sebelumnya adalah setiap surah yang akan ditafsirkan didahului oleh suatu pendahuluan yang berisi uraian tentang nama atau nama-nama lain surah tersebut, jumlah ayat, hubungan antar surah, dan pokok isi surah. Penafsiran surah diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan mengenai kandungannya.
Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim Indonesia juga mengenal Tafsir al-Azhar yang disusun oleh Hamka yang terbit pada tahun 1983. Kitab ini terdiri atas 15 jilid dan setiap jilid berisi penafsiran dua juz Al-Qur’an. Di setiap awal surah yang ditafsirkan, diuraikan lebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan surah dan pokok isinya. Selain itu, setiap ayat juga disertai dengan terjemahannya. Masalah pokok yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu diuraikan dan ditafsirkan secara panjang lebar.
Selain kitab tafsir yang disusun secara perorangan, Muslim di Tanah Air juga mengenal karya tafsir yang dibuat secara kelompok atau oleh lembaga. Di antaranya Al-quran dan Terjemahannya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an atas penunjukan oleh Departemen Agama RI. Al-quran dan Terjemahannya terbit pertama kali tahun 1971 dan sejak tahun 1990 terjemahannya telah mengalami revisi.
Dari panjangnya perjalanan usaha ulama indonesia dalam menyusun karya penafsiran Al-Qur’an maka tahapan itu di kelompokkan berdasarkan periode-periode tertentu, akan tetapi pada dasarnya periode awal abad 20 sampaitahun 1960 an cukup memberikan kontribusi yag sangat berharga dan dapat dikatakan penafsiran setelahnya merujuk pada tafsir-tafsir yang mereka buat.
Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks Al-Qur’an yang menjadi objek tafsir, literature tafsir pada periode pertama ini cukup beragam. Pertama, ada literature tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentu sebagai objek penafsiran, misalnya Tafsir Al-Qur’anul Karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis; Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan. Kedua literature ini berkonsentrasi pada surat Yaasiin.
Masih dalam konteks objek tafsir surat tertentu, ada yang berkonsentrasi pada surat Al-Fatihah, yaitu: Tafsir Al-Qur’anul karim, surat Al-Fatihah (Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris, Rahasia Ummul Qur’an atau Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Institute Indonesia, 1956) karya A. Bahry, Kandungan Al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960) karya Bahroem Rangkuti, dan Tafsir Surat Al-Fatihah (Cirebon: Toko Mesir, 1969) karya H. Hasri.
Kedua, karya Tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu. Pada bagian ini yang muncul hanya juz 30 (Juz ‘Amma) yang menjadi objek tafsir. Contoh dari model ini adalah : Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang : Al-Munir, 1922) karya H. Abdul karim Amrullah, Al-Hidayah Tfsir Juz ‘Amma (Bandung: Al-Ma’arif, 1930) karya A. Hassan, Tafsir Djuz ‘Amma (Medan: Islamiyah, 1954) karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir Al-Qur’anul Karim : Djuz ‘Amma (Jakarta: Wijaya, 1955) karya Zuber Usman, Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1958) karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Juz ‘Amma (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960) karya Mustafa Baisa, dan Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1960) karya M. Said.
Ketiga, ada yang menafsirkan Al-Qur’an utuh 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus yang untuk kali pertama diselesaikan penulisannya pada tahun 1938. Lalu Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, 1956, edisi ke-9) atau dikenal dengan nama tafsir tiga serangkai karya H. A. Halim Hassan, H. Zainal Abbas, dan Abdurrahman Haitami, Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Wijaya, 1959) karya H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Qur’an Al-Furqan (Jakarta: Tintamas, 1962) karya Ahmad Hassan, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pembina Mas, 1967, cetakan 1) karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’an Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1932 karya Ahmad Surkati.
Penulisan Tafsir Al-Furqan karya A.Hasan berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi ke dalam empat edisi penerbitan sampai sekarang.edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi kedua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa’ad Nabhan hingga akhirnya Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian pada tahun 2006, Tafsir Al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama Universitas Al-Azhar Indonesia dalam satu jilid.
Pada masa Prof. H. Mahmud Yunus boleh dibilang ia adalah satu-satunya intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran al-Qur’an. Dia memulai kegiatannya dengan menggunakan tulisan pego, yakni bahasa melayu atau bahasa Indonesia yang berbentuk tulisan arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan al-qur’an, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan Maknanya.
Metode Tafsir Periode pertama, awal abad 20 M sampai tahun 1950-an, ada yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyah (tarjamah maknawi). Di antaranya seperti Tafsir al-Furqan, yang ditulis oleh A. Hassan. Penulisan kitab tafsir ini dimulai tahun 1928, dan selesai tahun 1956. Dan Tafsir al-Qur’an Karim (tiga serangkai) yang ditulis oleh H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami pada tahun 1937. Tafsir ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20 halaman, yang terbit tiap bulan.
Dan ada juga yang ditulis dengan menggunakan metode Maudhu’I (tematik). Diantaranya seperti Tafsir Al-Qur’anul karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis, dan Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan.
Adapun rujukan ulama-ulama tafsir Indonesia ini merujuk kepada ulama-ulama periode klasik seperti Ibnu Katsir dan As-Suyuti, juga kepada ulama-ulama periode pertengahan seperti Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, dan Ahmad Mushtafa Al-Maragy.
Dan berikutnya Tafsir al-Misbah Quraish Shihab 15 Volume/ jilid, yang merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia : Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ke-Indonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia makna ayat-ayat Allah. Mari terangi jiwa dan keimanan kita dengan tafsir Al-Mishbah sekarang juga.
Demekianlah usaha yang telah diupayakan oleh ulama mufassir indonesia tentunya penafsiran-penafsiran mereka cendrung lebih mudah difahami oleh masyarakat yang membutuhkan penafsiran al-quran dalam mengambil isi kandungan al-quran, hal ini disebabkan tafsirnya berbahasa yang sama dengan masyrakat dan pemberian contoh-contoh dalam penafsirannya pun cendrung disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar di zaman itu.




[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an,(Jakarta:PT. Pustaka Litera AntarNusa,1996), h.456
[2] msiumsddii.file.wordpress.com, Studi Tentang Syarat-Syarat Mufassir, 2013
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an,(Jakarta:PT. Pustaka Litera AntarNusa,1996), h.462-464.
[4] Fahmi Amrullah, Ilmu Al-Qur’an untuk Pemula, (Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008), h.79-80
[5] Moh.Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Surabaya:Al Ikhlas), h.165.
[6]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (terj) Tim Editor Indiva (Surakarta:Indiva Pustaka , 2009), juz 2, hlm. 911-912.
[7]Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.13
[8]Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 9.
[9] Pasaronlineforall.blogspot.com, Syarat dan Adab Mufassir, (2010)

2 komentar: