Selasa, 12 Mei 2015

Poligami?

Wa in khiftum allaa tuqsi-thuu fil yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisaa-i mats-naa wa tsulaa-tsa wa rubaa’a  = Jika kamu merasa takut tidak akan mampu berbuat adil, maka janganlah kamu menikahi mereka (anak yatim). Tetapi nikahilah perempuan-perempuan lain yang kau cintai, dua, tiga atau empat.

Jika kamu khawatir tidak akan bisa berbuat adil setelah kamu menikahi perempuan yatim, sedangkan kamu menjadi walinya, apalagi kamu (khawatir) akan menghabiskan hartanya, maka janganlah kamu beristeri dengan perempuan yatim. Tetapi kamu juga jangan menghalangi mereka menikah. Kamu tentu akan memperoleh jalan untuk beristeri dengan perempuan-perempuan lain, seorang, dua orang, tiga, atau empat orang.

Fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan = Jika kamu takut tidak akan mampu berbuat adil di antara isteri-isterimu, maka nikahilah seorang saja.
Akan tetapi jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil seandainya menikahi dua orang, tiga, atau sampai empat orang isteri, maka hendaklah kamu beristeri satu orang saja. Dengan tegas ayat ini mengatakan bahwa orang yang boleh beristeri dua adalah yang percaya bahwa dirinya benar-benar dapat berlaku adil.

Au maa malakat aimaanukum = Atau nikahilah perempuan-perempuan yang kamu miliki.
Jika kamu tidak mungkin bisa berlaku adil di antara isteri-isterimu yang merdeka (bukan budak), maka cukuplah beristeri seorang saja yang merdeka. Atau nikahilah budak-budak yang kamu miliki (ini berlaku semasa zaman perbudakan belum dihapuskan).

Dzaalika adnaa allaa ta ’uuluu = Beristeri satu lebih dekat bagimu untuk tidak berlaku curang.
Mencukupkan diri beristeri satu dengan perempuan merdeka atau mencukupkan diri dengan budak-budak yang dimiliki lebih dekat kepada perilaku tidak curang. Beristeri banyak sesungguhnya tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat, dan sangat kecil kemudaratannya.
Ayat ini memberi pengertian bahwa kebolehan beristeri banyak disertai syarat dapat berlaku adil. Sedangkan berlaku adil merupakan satu hal yang sangat sulit dicapai.
Adil yang dimaksud di sini adalah: kecondongan hati. Kalau demikian halnya, memastikan adanya adil merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan. Tidak mungkin kecintaan seseorang kepada isteri-isterinya bisa berlaku sama.
Oleh karena itu, kebolehan beristeri banyak tidak bisa diberlakukan sembarangan. Diperbolehkan secara darurat bagi orang yang percaya benar akan mampu berlaku adil dan terpelihara dari perbuatan curang.

Al-Amir Ali dalam kitab Sirrul Islam menjelaskan bahwa ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat, seorang lelaki tidak boleh beristeri yang kedua selama dia masih mempunyai seorang isteri. Ulama-ulama Mu’tazilah memang sangat ketat dalam hukum pernikahan. Mereka menekankan tentang kemudaratan- kemudaratan dan kesukaran yang terjadi akibat poligami (beristeri lebih dari satu). Mereka menginsafi, di antara dasar-dasar syariat Nabi Muhammad adalah memberikan kepada alat (wasilah), hukum yang diberikan kepada tujuan. Kita melihat bahwa beristeri banyak ternyata berakibat sangat buruk, yang tidak dipandang baik oleh akal dan tidak diridhai oleh ağama. Karena itu beristeri banyak diharamkan.
Untuk itu, para pemuka hukum dan ahli-ahli fatwa hendaklah meyakini bahwa menolak bencana haruslah didahulukan atas menarik kemaslahatan; dasar- dasar ağama adalah menolak kemudaratan semua pihak, mempelajari cara memperbaki keadaan yang sangat rusak dan membuat undang-undang yang bisa menjamin kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar