Kamis, 29 Mei 2014

Makalah Qira'at Al-Quran


QIRA’AT ALQURAN


A.    Pengertian Qiro’ah
Secara etmologi,qiraat merupakan bentuk jamak dari kata qiraah.Sesuai dengan kaidah bahasa arab,bentuk kata ini dinamakan mashdar sma’I dari fi’il ( kata kerja ) qa-ra-a, artinya bacaan.Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology istilah, ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama:
Al-Zarqani meberikan pengertian bahwa qiraat adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al-Quran yang berbeda antara satu dengan yang lainnnya,dalam pengucapannya serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya,baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafaznya.Al-Zarkasyi mengatakan bahwa perbedaan qiraah itu meliputi perbedaan lafazh-lafazh dan lainnya.[1]
Manna’Khali Al-Qathan mengemukakan bahwa qiraah adalah satu mazhab pengucpan al-Quran yang dipilih seorang imam qiraat sabagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Ibnu Al-Jazari seperti dikutip Al-Zarqani berpendapat bahwa qiraah adalah pengetahuan tentang cara melafalkan kalimat al-Quran dengan menyandarkan penukilnya.
Menurut Enksiklopedia Islam, qiraah ialah cara yang dipakai oleh seorang imam qiraat, yang berbeda dengan imam-imam lainnya dalam membaca al-Quran.Ilmu qiraat adalah ilmu yang mempelajari tatacara membaca al-Quran yang dinisbatkan kepada salah satu imam qiraat yang dipandang baik sanadnya sampai kepada Rasulullah.
Dengan beberapa define di atas dapat dilihat beberapa indikasi untuk memahami makna qiraat dalam kaitannya dengan kajian ilmu-ilmu al-Quran.Sekalipun terdapat perbedaan terutama dalam hal redaksional dan penekanan,namun terdapat kesamaan dalam memberikan makna dasar.


B.     Macam –Macam Qira’ah
1.      Jenis-jenis qira’ah dari segi sanad
As-Syuthiy mengutip pendapat Ibn al-jazariy,bahwa jenis-jenis qira’ah ada enam.
a.       Mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh segolongan imam dari golongan lain yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.Misalnya riwayat yang jalur-jalurnya cook sampai kepad imam yang tujuh.
b.      Mashyur yaitu yang shahih sanadnya,misalnya diriwayatkan oleh perawi  yang adil lagi dhabit dari perawi yang sekualitas,begitu seterusnya,lalu sejalan dengan kaidah bahasa arab dan sesuai dengan salah satu mushaf,baik diriwayatkan dari imam-imam yang tujuh,yang sepuluh atau imam-imam yang lain.[2]
c.       Yang shahih sanadnya,tetapi menyimpang dari rasam,atau kaidah bahasa arab ataupun tidak semasyhur yang sebelumnya.Jenis ini tidak digunakan membaca dan tidak wajib meyakininya.
d.      Syaz yaitu yang tidak shahih sanadnya.
e.       Maudhu, yaitu yang dinisbatkan kepada pengucapannya tanpa dasar.
f.       Yang mempunyai jenis mudraj dalam hadis, yatu yang ditambahkan di dalam qira’ah dengan maksud memberikan tafsir.
g.      Qiraat ahad yaitu tidak sah sanadnya ,berlain-lainan bentuk hurufnya atau tidak karuan bahasa Arabnya,atay tidak termashyur.[3]

2.      Jenis Qira’at dari segi ragam Qira’at yang dapat di terima sebagai Qira’at al-Quran.
1)      Qiraat Sab’at
yang dimaksud dengan Qira’at sab’at yaitu tujuh versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qir’at yang berjumlah tujuh orang yaitu: Ibn’Amir,Ibn Kasir,Ashim,Abu’amr,Nafi, dan Al-Kisa’i.Qira’at sab’at dikenal di dunia Islam pada akhir abad kedua Hijriah,dan dibukukan pada akhir abad ketiga Hijriah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa ibn ‘Abbas ( w.324 H.)
2)      Qira’at Syazzat
yang dimaksud dengan qira’at syazzat dalam bahasa adalah sebagaiman dikemukakan oleh sebagian ulama yaitu,qira’at yang sanad-nya sahih,sesuai dengan kaidah bahasa arab,akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf.

Syarat-Syarat qira’at
a)      Qira’at itu disesuaikan dengan bahasa arab,sama saja,apakah dia afsah atau fasih.Qira’at itu ada yang sunah mutasayabih mutabi’ah yang harus diterima.Tempat pengembaliannya itu dengan sanad,bukan denga pemikiran.[4]
b)      Qira’at itu disesuaikan dengan mashaf usmani,sekalipun secara ihtimal. Mengenai tulisan mashaf usmani ini maka para sahabt telah mangadakan ijtihad mengenai bentuk huruf apa yang mereka ketahui.
c)      Dalam qira’at harus ada yang sah.Qira’at itu adalah sunah mutabi’ah harus berpedoman kepada catatan-catatan yang betul dan riwayat yang sah.yang banyak diingkari oleh ahli bahasa arab ialah qira’at yang keluar dari kias.

C.    Latar belakang timbulnya perbedaan Qiraa’at
Munculnya persoalan dan perbedaan qiraat dalam sejarah perkembangan dalam bahasa arab.Bansa arab terdiri dari berbagai suku,juga mempunyai dialek yang cukup beragam.Dalam kaitannya dengan permasalahan munculnya qiraat,para ahli berbeda pendapat dalam menetapkannya.Ada yang mengatakan bahwa Allah sendiri sengaja menurunkan Al-Quran dalam bahasa Al-quran yang beragam dengan tujuan untuk mengatasi kesulitan bagi golongan yang merasa kesulitan mengucapakan bahasa Al-Quran.Oleh karena itu,Allah yang maha bijaksan menurunkan Al-Quran dengan dialek yang dapat dipahami semua golongan bangsa Arab.Dengan demikian wajar bila Al-Qur’an sesuai dengan beberapa lahjah bangsa arab.
Disisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan qiraat bukanlah berdasarkan kepada keragaman wahyu,tetapi lebih merupakan hasil dari perbedaan lahjah yang dilafalkan oleh masing-masing suku bangsa Arab.Nampaknya, pendapat yang kedua ini lebih bersifat mencari kemungkinan demikian, sementara pendapat pertama,cendrung menerima apa adanya.[5]
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, berdasarkan catatan sejarah masalah qira’at dalam pengertian perbedaan cara pelafalan Al-Qur’an seudah muncul sejak masa Nabi. Dalam berkembang selanjutnya,terjadi melalui proses periwayatan yang disampaiakan secara berantai dari satu generasi kepada generasi berikutnya sampai muncul imam-imam qiraat yang masyhur itu,terjadilah pengkhususan dan pengklaim qiraat dan selanjutnya rumusan-rumusan mereka dilestarikan dan disebarluaskan. Para imam inilah nantinya yang dipandang sebagai tokoh qiraat, sehingga qira’at mereka di beri nama sesuai nama-nama para imam itu masing-masing.Penetapan ini terjadi pada awal abad ke 2 hijriah.[6]
Sebelum kita mengkaji pengaruh qira’ah dalam mengistibanthkan hukum kita harus menegetahui pengertian hukum dan istinbath itu sendri.
A.    Pengertian hukum
Hukum dalam Islam Syari’at merupakan salah satu aspek poko ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quraan.
Secara terminology hukum adalah menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakannya.

D.    pengertian istinbath
Kata Istinbath berasal dari bahasa Arab yang akar katanya al-nabath artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang yang sedang menggali sumur.
Kata istinbath terdapat dalam bentuk fi’il atau kata kerja sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt An-nisa 83 :
#sŒÎ)ur öNèduä!%y` ֍øBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sŒr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øŠn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜøŠ¤±9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÌÈ  
dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri,di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Untuk memahami kata (mtRqäÜÎ7/ZoKó¡o ) dalam ayat tersebut,para pakar ilmu tafsir menjelaskan sebagi berikut:
a)      Menurut al-Maraghi
            istinbath yaitu mengeluarkan sesuatu yang tidak tampak dalam pandangan.
b)      Menurut Abdullah al-Nasafi,yang dimaksud dengan ayat wastanbithu adalah mengeluarkan maksud yang terembunyi dengan ketajaman pandangan mereka.
c)      Menurut al-khazin yang dimaksud dengan kalimat wastanbithu adalah mengeluarkan kandungan maksunya kemampuan,kecerdasan,pengalam serta pengetahuan mereka.
d)     Pengaruh Qira’at dalam instibatkan hukum
Kata istinbath berasal dari bahasab arab dari kata al-nabth yang berarti air yang keluar pertama kali atau tampak pada saat menggali sumur karena itu, makna istibath yang biasanya di pakai adalah istikhraj.
Secara terminologi: mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada pada Al-Qur;’an dan sunnah dengan ketajaman nalar serta kemampuan optimal.dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa subtansi dari istinbath adalah upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum dari apa yang terdapat baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah.[7]
Perbedaan qir’aat Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafal atau kalimat,adakalanya mempengaruhi makna dari lafal atau kalimat dan adakalanya tidak,adapaun perbedaan qira’at Al-Qur’an khususnya menyangkut ayat-ayat hukum,dan pengaruh nya terhadap istibath hukum dapat di lihat dalam beberapa kasus:
1.      Qs Al-baqarah ayat 222
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Menurut Qira’at hamzah al kisa’I dan ashim riwayat syu’bah, kata (bößgôÜtƒ) di baca dengan yaththahharna,di lain pihak ibnu katsir,naïf Abu amr,Ibnu amir dan Ashim riwayat hafsh membaca kata tersebut dengan yaththahharna.[8]
Berdasarkan Qir’at yathhurna sebagian ulama menafsirkan ayat ( bergaris bawah) diatas dengan janganlah kamu bersettubuh dengan mereka sampai mereka suci atau berhenti keluarnya darah haid mereka. Sedangkan dari suaut Qira’at yaththahharna menunujukan bahwa yang dimaksud denga ayat diatas” janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka suci.
2.      Qs An-nisa ayat 43
4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$#   ÇÍÌÈ 
Telah tercatat dalam berbagai kitab perbedaan isitinbath hukum dari para ulama berkenaan dengan ayat diatas,terutam tentang kalimat (ãuä!$|¡ÏiY9$#Läêó¡yJ»s9)mereka tidak bertemu dan sepakat disebabkan berpegang pada qira’at yang berbeda.menurut ibnu katsir,nafi,Asyhim,Abu amr,dan ibnu amir ayat ini di baca denga la’mastum al-nisa. Sedangakn hamzah dan Al kisai membaca dengan lamastum al-nisa.
Sehubungan dengan qi’rat (ãuä!$|¡ÏiY9$#Läêó¡yJ»s9) ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna
Lamastum yaitu bersetubuh, bersentuhan dan bersentuhan serta bersetubuh.demikian pula makna lamastum menurutu kebanyakan ulama.akan tetapi sebagian ulama, anatar lain Muhammad ibnu yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna dari lamastum adalah berciuman dan yang sebangsannya, karna kedua belah pihak ( yang berciuman) bersifat aktif.
Dari dua ayat diatas kita bisa menjelaskan bahwanya pengaruh qir’at dalam menafsirkan atau mengistinbatkan banyak perbedaanya akibay dari perbedaan dalam membaca Al-Qur’an

E.     Hikmah adanya perbedaan Qira’at dalam Al-Quran.
Adanya perbedaan qira’at al-Quran,tampaknya tidak terlepas dari adanya hikmah yang terkandung di dalamnya.Karena itu para ulama berupaya mencoba menemukan dan mengungkapkannya.Pada garis besarnya, terdapat dua macam hikmah pokok sehubungan dengan adanya perbedaan qira’at al-Quran yaitu, hikmah secara umum dan hikmah secara khusus.
a)      Hikmah secara umum
Adapun hikmah secara umum dari adanya perbedaan qira’at al-Quran, semenatar ulama mengemukakan sebagai berikut:
a.       untuk memberi kemudahan bagi umat Islam,khususnya bangsa Arba, dalam membaca Al-Quran.hal ini karena,mereka terdiri atas berbagai suku bangsa yang mereka masing-masing memeliki lahjat yang berbeda-beda.[9]
b.      Mempersatukan umat Islam di kalangan bangsa Arab, yang relatife baru,dalam satu bahasa yang dapat mengikat persatuan di antara mereka, yaitu bahasa Quraisy yang dengan al-Quran diturunkan,dan dapat mengakomodasikan atau menampung unsure-unsur bahasa arab dan kabilah-kabilah lainnya.
c.       Menunjukan kelebihan umat Nabi Muhammad SAW, dari umat nabi-nabi sebelumnya,karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas satu versi qira’at.
d.      Menunjukan atau membuktikan terjaga serta terpeliharanya al-Quran dari adanya penggantian dan pengubahan,termasuk berbagai versi qira’atnya.
b)      Hikmah secara khusus.
Adapun hikmah khusus yang berkenaan dengan maksud atau kandungan ayat, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum,dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan di ijma kan oleh para ulama sebagai conoth menyangkut firman Allah dalam an-nisa ayat 12 :
bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ  
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris.(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Berdasarkan ayat di atas,para ulama telah berijma bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut yaitu, saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.[10]

b.      Men-tarjih-kan hukum yang di-ikhtilaf-kan oleh para ulama sebagai conoth menyangkut firman Allah Al maidah ayat 89:
Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ  
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).


Dalam memahami ayat di atas,para ulama berbeda pendapat tentang kifarat berupa memerdekakan seorang budak bagi orang yang melanggar sumpah,apakah budak yang dimerdekakan itu mesti budak yang mukmin, ataukah budak secara mutlaq ( artinya, boleh budak yang mukmin, dan boleh juga budak yang tidak mukmin )
c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda,sebagi contoh menyangkut firman allah al baqarah ayat 222.

štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri,dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[11]

Ayat di atas menjelaskan,bahwa seorang suami di larang melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang sedang dalam keadaan haid,sebelum istrinya bersuci. 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ Kata dalam ayat tersebut di pahami oleh sebagian ulama dengan mana, sampai mreka istri suci dalam arti telah berhenti dari darah haid mereka.
d.      Menunujukan adanya dua ketentuan hukum yang berbeda,dalam kondisi yang berbeda pula. Sebagai contoh,dalam firman Allah al maidah ayat 6 :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

Kata arjulukum dalam ayat di atas menurut salah satu versi qira’at sab’at di baca arjilikum yang ma’thuf kepada fagsilu biruusikum menunjukan hu yang ma’thuf kepada wamsahu biruusikum menunjukan wajibnya menyapu (dengan air) kaki.
Hukum yang terkandung dalam qira’at versi kedua, yaitu menyapu kaki, berlaku bagi orang yang dalam keadaan memakai al-khuffyn ( sepatu boot ).[12]
e.       Menjadi hujjah bagi sementara ulama untuk memperkuat pendapatnya mengenai sesuatu masalah hukum. Sebagai contoh al maidah ayat 6:

4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 ÇÏÈ  
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

Menurut ayat di atas salah satu penyebab bagi seorang untuk melakukan tayamum dalam konidisi tidak menjumpai air ( Lamastum nisa’a) sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan (lamastum nisa’a ) dalam ayat tersebut bersentuh kulit ( itfa’al basrataiini) sementara sebagian ulama lainnya berpendapat,bahwa yang dimasud adalah bersetubuh.
Dalam pada itu, menurut salah satu versi qira’at sab’at kata-kta ( a’u lamstum nisa’a) dalam ayat Al-Quran tersebut bisa di baca( au lamstumu nisa’a) qira’at tersebut terahkir menjadi hujjah bagi pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ( a’u lamsatumu nisa’a) dalam ayat di atas bersentuh kulit.
f.       Menjelaskan suatu hukum dalam suatu ayat, yang berbeda dengan makna menurut zhahirnya. Sebagai conoth al jum’at ayat 9

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Kata ( fagsilu ) dalam ayat di atas,secara zhahirnya mengandung makna segera. Akan tetapi demikian halnya, kalau berdasarkan versi qira’at,dalam hal ini qira’at syazz yaitu ( famduu ila zikirillah ) karena kata ( famduu) tidak mengandung makna segera.
g.      merupakan tafsir atau penjelas tehadap sesuatu lafaz dalam al-Quran yang mungkin sulit untuk dipahami maknanya. Sebagai contoh dalam surat al qoriah ayat 5 :
ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ  
dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.

Dalam salah satu qira’at syazat,kata ( kaliihni) dalam ayat tersebut di atas, bisa di baca (kalsomuwfa) sehingga bunyi ayat tersebut menjadi : (wattakunu jibalu kalsmouwfa manfus ) dengan qira’at yang disebut terahkir ini,maka menjadi jelaslah,yang dimaksud dengan ( iihni ) ayat tersbut ( somuwfa).[13]








[1] Rusydi Am,Ulumul Al-Qur’an 1,(Padang: IAIN-IB Press,1999) h. 100-101
[2] Muhammad Abdul Adzhim Al-Zarqani,Manahil al-urfan fi’ulum al-Quran,( Jakarta: Gaya media pratama,2002) h 438-439
[3] Hasanuddin,perbedaan qira’at dan pengaruhnya terhadap istinbath hukum dalam Al-Qur’an,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995) h 146-152
[4] Mana’ul Quthan,pembahasan ilmu Al-Qur’an ( Jakarta: PT Rineka cipta,1993) h 192-194
[5] Rusydi Am,Op.cit, h 102-103
[6] Hasanuddin,Op.cit, h 181-186
[7] Zulheldi,ulumul qur’an,(ciputat:quantum press,2003) h 164-165
[8] Ibid h 166
[9] Hasanuddin, Op.cit, h 241-247
[10] Hasanuddin,Op.cit, h 248
[11] Hasanuddin,Op.cit,h 249-250
[12] Hasanuddin,Op.cit, h 251
[13] Hasanuddi,Op.cit, h 252-253